Minggu, 27 April 2014

HAK ANAK DALAM KELUARGA

Hak Anak dalam Keluarga (Memiliki Keyakinan Berbeda dengan Orang Tua) Saya (18) berniat untuk memiliki keyakinan (agama) yang berbeda dengan garis keturunan saya. Untuk merealisasikannya, saya harus keluar dari rumah karena tidak disetujui oleh orang tua. Orang tua memaksa untuk tetap memiliki keyakinan yang sama. Apa keputusan saya untuk keluar dari rumah demi mempertahankan keyakinan dapat dilindungi oleh hukum? Apa yang masih menjadi wewenang orang tua saya? Untuk dapat pindah keyakinan dan dinyatakan sah secara hukum, tidak diperlukan syarat – syarat tertentu. Selama Anda telah meyakini keputusan tersebut, maka Anda dapat melakukannya. Hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Pasal 28E UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable human rights). Jadi, kebebasan Anda untuk beragama adalah hak asasi Anda, termasuk untuk memilih agama yang Anda yakini. Kebebasan beragama juga ditegaskan dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU 39/1999”) yang menyatakan, Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut penjelasan pasal 22 ayat (1) UU 39/1999, yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Mengenai wewenang orangtua, memang benar bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Akan tetapi dalam konteks kekuasaan orang tua, perlu diingat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) membatasi usia anak dalam pasal 47 ayat (1), yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Anak yang demikian berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan (lihat pasal 47 ayat [2] UU Perkawinan). Dalam kasus ini, Anda sudah berusia 18 tahun. Ini artinya Anda sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orangtua. Dengan demikian secara hukum Anda sudah dianggap dewasa dan karena itu sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa perlu izin dari orang tua, KECUALI untuk melangsungkan perkawinan. Dalam pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan diatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Jika orang tua Anda tidak menyetujui perkawinan tersebut, maka Anda dapat meminta izin dari Pengadilan dalam daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan dapat memberikan izin menikah setelah mendengar pendapat dari orang tua Anda (lihat pasal 6 ayat [2] UU Perkawinan). Demikian hemat kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pertanyaan: Bolehkah Memisahkan Anak dari Ayah Kandungnya? saya ann (24 tahun). saya memiliki seorang anak laki-laki di luar nikah (3bulan). masalah yang sedang saya hadapi saat ini adalah: 1. saya dan ayah biologis anak saya bermaksud untuk menikah, namun dilarang oleh orang tua saya. adakah akibat hukumnya apabila seseorang melarang orang lain yang telah cukup umur untuk menikah? 2. karena dilarang menikah, saya berniat untuk pergi dari rumah (saat ini saya tinggal dengan orangtua saya). namun orang tua saya mengancam, saya boleh pergi kapanpun, namun tidak anak saya. mereka menahan anak saya, merebut anak saya dari saya. apakah ada hukumnya apabila mereka melakukan hal ini? 3. orang tua saya tidak mengijinkan anak saya bertemu dengan ayah biologisnya. sementara saya pribadi tidak keberatan anak saya bertemu dengan ayah nya. dapatkah mereka melakukan hal ini? 4. pembuatan dokumen (misalnya akta nikah gereja) dilakukan dengan cara "tembak", apakah hal ini termasuk pemalsuan dokumen? adakah sanksi hukumnya? terima kasih. Jawaban: Letezia Tobing, S.H. Kami akan menjawab pertanyaan Anda satu persatu sebagai berikut: 1. Anda tidak menyebutkan lebih detail apakah ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan oleh orang tua Anda dalam melarang Anda menikah dengan laki-laki tersebut. Jika larangan dari orang tua Anda hanya dilakukan secara verbal tanpa disertai tindakan pengancaman atau tindakan lain yang membuat Anda terpaksa tidak menikah, maka tidak ada hukumannya bagi larangan secara verbal tersebut. Pada dasarnya sebagaimana dikatakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Selain itu, bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan tetapi belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, diharuskan mendapat izin dari orang tua (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika pasangan tersebut sudah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, tidak diperlukan izin dari orang tua. 2. Atas tindakan orang tua Anda yang mengancam Anda bahwa mereka akan menahan anak Anda, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”): (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. R. Soesilo, terkait pasal ini, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang dimaksud memaksa adalah menyuruh orang melakukan sesuatu sedemikian rupa, sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri. Dalam hal ini ancaman dari orang tua Anda dapat dikatakan sebagai tindakan memaksa agar Anda melakukan tindakan sebagaimana yang diinginkan oleh orang tua Anda yaitu tidak menikah dengan laki-laki tersebut. Jika orang tua Anda benar-benar menahan atau merebut anak Anda, orang tua Anda dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 330 KUHP: 1. Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 2. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3. Orang tua Anda tidak dapat melarang anak Anda untuk bertemu dengan ayahnya. Ini karena bertemu, mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya adalah hak setiap anak, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”): Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak: “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.” Pasal 14 UU Perlindungan Anak: “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.” 4. Kami kurang jelas mengenai apa yang Anda maksud dengan pembuatan dokumen dengan cara “tembak”. Apakah yang Anda maksud hanya mempercepat jangka waktu pembuatan dokumen atau ada hal-hal yang dipalsukan demi terbuatnya dokumen tersebut. Dalam hal ini kami berasumsi ada hal-hal dalam dokumen tersebut yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan pemalsuan (surat-surat) atau tidak, kita harus melihat terlebih dahulu pada unsur-unsur dalam pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan dokumen. Mengenai pemalsuan dokumen (surat-surat), dapat Anda lihat dalam Pasal 263 KUHP: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Mengenai pasal ini, R. Soesilo menjelaskan bahwa surat yang dipalsukan itu harus suatu surat yang: a. Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain); b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya); c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); d. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain). R. Soesilo menjelaskan bahwa perbuatan yang dapat diancam hukuman di sini ialah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Yang dimaksud dengan “membuat surat palsu” adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawai polisi membuat proses verbal yang berisi suatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses verbal palsu. Ia membuat proses verbal palsu, apabila pegawai polisi itu menuliskan dalam proses verbalnya lain daripada yang diceritakan kepadanya oleh orang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan “memalsu surat” adalah mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli. Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP, dapat dilihat juga bahwa orang yang mempergunakan surat palsu dengan sengaja, dalam arti orang tersebut mengetahui bahwa surat itu palsu, juga dapat dipidana. Jadi untuk dapat dikatakan sebagai pemalsuan dokumen, tindakan tersebut harus memenuhi pengertian “membuat surat palsu” atau “memalsu surat” dalam uraian di atas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Referensi: R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Pertanyaan: Apakah Pengadilan Berwenang dalam Penerbitan Akta Kelahiran? Pada awal tahun 2010, saya mengurus akta kelahiran masih menjadi kewenangan cacatan sipil. Tetapi pada pertengahan 2013 saya kembali untuk mengurus akta kelahiran untuk adik saya, kini menjadi kewenagan pengadilan agama. Benarkah demikian? Jawaban: Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam konsiderans Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) antara lain dikatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannya akta kelahiran. Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administrasi kependudukan untuk dibuatkan aktanya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 UU Adminduk: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Yang dimaksud instansi pelaksana setempat dalam undang-undang ini adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 angka 7 UU Adminduk). Pada intinya yang mencatatkan peristiwa penting seperti kelahiran yang dimaksud adalah pejabat pencatatan sipil yang berkerja pada instansi pelaksana. Anda mengatakan bahwa pada tahun 2010 saat Anda mengurus akta kelahiran, wewenang ada pada pejabat pencatatan sipil. Dari informasi tersebut kami berasumsi bahwa pelaporan kelahiran yang Anda lakukan saat itu tidak melewati batas waktu yang ditentukan oleh UU Adminduk, yakni 60 hari sejak kelahiran. Jadi, memang benar bahwa saat Anda mengurus akta kelahiran yang berwenang adalah pejabat pencatatan sipil. Artinya, yang berwenang menerbitkan akta kelahiran adalah pejabat pencatatan sipil. Sedangkan untuk pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Jadi, jika pada 2010 tersebut Anda terhitung melewati batas waktu satu tahun sejak kelahiran untuk mengurus akta kelahiran, maka Anda harus meminta penetapan dari pengadilan negeri. Jadi, di sini kami luruskan bahwa penetapan yang dimaksud adalah penetapan dari pengadilan negeri, bukan pengadilan agama seperti yang Anda sampaikan. Akan tetapi, pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Adminduk dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013, bunyi Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk selengkapnya menjadi: “Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.” Selain itu, MK dalam putusannya juga menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun tidak lagi harus berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Menurut MK, keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan akan memberatkan masyarakat. Proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum. Jadi, masalah pelaporan kelahiran untuk dibuatkan pencatatannya yang dilakukan pasca putusan MK ini harus tunduk pada putusan tersebut. Jika pelaporan kelahiran melampaui batas waktu 60 hari sejak kelahiran (maupun lebih dari satu tahun sejak kelahiran), maka pencatatan dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana setempat. Artinya, di sini sudah tidak ada lagi penetapan pengadilan negeri yang menjadi dasar pencatatan kelahiran. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, tidak benar bahwa wewenang pencatatan kelahiran itu ada pada pengadilan agama. Penetapan pengadilan negeri yang menjadi dasar pencatatan kelahiranpun sudah dihapuskan pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013. Jika pelaporan tersebut melampaui batas waktu 60 hari sejak kelahiran, maka pencatatan dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana. Artinya, Putusan MK mengembalikan urusan akta kelahiran ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Selengkapnya Anda dapat pula membaca artikel MK Hapus Peran Pengadilan Urus Akta Kelahiran. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013 Pertanyaan: Tentang Pembebasan dan Pemecatan Kekuasaan Orang Tua Apa persamaan dan perbedaan antara pemecatan kekuasaan orang tua dan pembebasan kekuasaan orang tua? Jawaban: Muhammad Al Asyhari, S.H. Terima kasih atas pertanyaannya. Ketentuan mengenai hak kekuasaan orang tua, dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) (“KUH Perdata”), yang kemudian dibagi lagi ke dalam 2 bagian besar: 1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak; 2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda. Terkait hak kekuasaan orang tua dalam hukum kekeluargaan positif di Indonesia ini, memunculkan istilah pencabutan/pemecatan kekuasaan orang tua dan pembebasan kekuasaan orang tua. Dua istilah yang sekilas terlihat sama pengertiannya, namun memiliki makna dan pelaksanaan yang berbeda. Istilah Pembebasan Kekuasaan Orang Tua tidak ditemukan dalam UU Perkawinan. Yang diatur hanya tentang Pencabutan Kekuasan Orang Tua. Di sisi lain istilah Pembebasan Kekuasaan Orang Tua diatur secara eksplisit dalam KUH Perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 319a KUH Perdata, paragraf pertama yang menyatakan bahwa: “Bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan pembebasan ini berdasarkan hal lain.” Pada paragraf kedua pasal yang sama disebutkan mengenai Pemecatan Kekuasaan Orang Tua: “Bila Hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dari orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan keempat, atau dewan perwalian, atau Kejaksaan atas dasar: 1. menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih; 2. berkelakuan buruk; 3. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya; 4. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan kejahatan yang tercantum dalam Bab 13, 14, 15, 18, 19, dan 20, Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya; 5. dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih; 6. Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan membantu dan percobaan melakukan kejahatan.” UU Perkawinan juga menjelaskan mengenai Pencabutan Kekuasaan Orang Tua, yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi : “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali.” Perbedaan Pembebasan Kekuasaan Orang Tua dan Pencabutan/Pemecatan Kekuasaan Orang Tua Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, maka terlihat beberapa poin yang membedakan antara Pembebasan dan Pencabutan Kekuasaan Orang Tua, sebagai berikut; - Pembebasan Kekuasaan didasarkan hanya pada tidak cakapnya orang tua atau tidak mampu memenuhi kepentingan-kepentingan dasar anak-anaknya. - Pencabutan/pemecatan Kekuasaan didasarkan pada alasan yang lebih spesifik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 319a paragraf kedua (poin 1-5) UU Perkawinan, kemudian dijelaskan lagi di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang menjelaskan alasan yang dapat mendasari dilakukannya Pencabutan Kekuasaan Orang Tua ialah: a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. Persamaan Pembebasan Kekuasaan Orang Tua dan Pencabutan/Pemecatan Kekuasaan Orang Tua Untuk membahas mengenai persamaannya akan dilihat dari beberapa segi/aspek yaitu : a. Segi/aspek persyaratan atau pihak yang berhak mengajukan permohonan yaitu Dewan Perwalian dan Kejaksaan (Pasal 319a KUH Perdata):. Baik Pembebasan maupun Pemecatan sama-sama dapat dimohonkan oleh Dewan Perwalian atau Kejaksaan. b. Segi/aspek permohonan/tuntutan diajukan kepada Pengadilan Negeri (Pasal 319b KUH Perdata): Baik Pembebasan maupun Pemecatan sama-sama harus mengajukan permohonan yang memuat peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang menjadi dasarnya, dan diajukan bersama dengan surat–surat yang diperlukan sebagai bukti kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal orang tua yang dimintakan pembebasannya atau pemecatannya, atau bila tidak ada tempat tinggal yang demikian, kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya yang terakhir, atau bila permohonan atau tuntutan itu mengenai pembebasan atau pemecatan salah seorang dari orang tua yang diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua setelah pisah meja dan ranjang, kepada Pengadilan Negeri yang telah memeriksa permintaan atau tuntutan pemisahan meja dan ranjang itu. Dalam permohonan atau tuntutan itu, oleh panitera pengadilan harus dicatat terlebih dahulu hari pengajuannya. Kemudian salinan permohonan atau tuntutan itu beserta surat-surat tersebut di atas harus disampaikan secepatnya oleh panitera pengadilan negeri kepada dewan perwalian, kecuali bila permohonan atau tuntutan untuk pelepasan atau pemecatan itu diajukan oleh dewan perwalian sendiri. (Pasal 319b KUH Perdata) c. Segi/aspek tenggang waktu perlawanan yang dapat diajukan oleh orang tua yang dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua (Pasal 319f KUH Perdata): Bila orang yang dimohon atau dituntut pembebasannya atau pemecatannya itu atas panggilan tidak datang, maka dia boleh mengajukan perlawanan dalam 30 (tiga puluh) hari setelah keputusan itu atau akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau yang dibuat untuk melaksanakan hal itu disampaikan kepadanya, atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa keputusan itu atau permulaan pelaksanannya telah diketahui olehnya. Orang yang permohonannya atau jawatan kejaksaan yang tuntutannya untuk pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua ditolak, dan orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua kendati telah menghadap setelah dipanggil, demikian pula orang yang perlawanannya ditolak, boleh naik banding dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah keputusan diucapkan. d. Segi/aspek pengembalian kekuasaan orang tua /perolehan hak untuk menjadi kekuasaan orang tua atau menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur (Pasal 319g KUH Perdata): Orang yang telah dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan mereka yang berwenang untuk memohon pembebasan atau pemecatan menurut Pasal 319a, atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali atau diangkat menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur, bila ternyata, bahwa peristiwa-peristiwa yang telah mengakibatkan pembebasan atau pemecatan, tidak lagi menjadi halangan untuk pemulihan atau pengangkatan itu. Demikian pula, orang yang telah dibebaskan atau dipecat dari perwalian atas anak-anaknya sendiri kemudian kawin kembali dengan suami atau istri yang dahulu, selama perkawinan itu, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali. Permohonan atau tuntutan untuk itu hal diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dulu menangani permohonan atau tuntutan untuk pembebasan atau pemecatan, kecuali bila yang dibebaskan atau dipecat itu pisah meja dan ranjang, atau perkawinannya dibubarkan oleh perceraian perkawinan atau setelah pisah meja dan ranjang; dalam hal kekecualian ini, semua permohonan atau tuntutan hal diajukan kepada Pengadilan negeri yang telah menangani permohonan atau tuntutan pisah meja dan ranjang, perceraian atau pembubaran perkawinan. e. Segi/aspek kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak (Pasal 319j KUH Perdata): Orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, wajib memberikan tunjangan kepada dewan perwalian untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang telah ditarik dari kekuasaannya, tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan, atau tiap-tiap tiga bulan, sebesar jumlah yang ditentukan oleh Pengadilan Negeri atas permohonan dewan perwalian. f. Segi/aspek pemberitahuan keputusan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua (Pasal 319k KUH Perdata): Tiap-tiap keputusan yang mengandung pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua, harus segera diberitahukan oleh panitera berupa salinan kepada pihak yang menerima kekuasaan orang tua itu atau kepada pihak yang ditugaskan untuk melakukan perwalian, demikian pula kepada dewan perwalian. Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Referensi: http://pena-rifai.blogspot.com/2010/11/persamaan-dan-perbedaan-antara.html Pertanyaan: Menuntut Mertua yang Melarang Menemui Anak Sendiri Saya punya satu anak perempuan, karena suami selingkuh kami pisah ranjang. Saya pulang ke rumah orang tua dan anak saya dikuasai dan diasuh oleh mertua karena suami bekerja sebagai PNS. Saya tidak boleh menemui anak dan selalu diusir serta berebut dengan suami dan mertua. Saya juga sering dicaci dengan kalimat kasar oleh suami dan mertua. Apakah saya bisa menuntut mertua secara pidana sesuai pasal 330 KUHP? Terima kasih. Jawaban: Letezia Tobing, S.H. Dalam hal ini Anda tidak menyebutkan berapa usia anak Anda. Kami berasumsi bahwa anak Anda belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sehingga berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), anak Anda masih termasuk apa yang disebut dengan “anak”. Pada dasarnya kedua orang tua memiliki hak yang sama dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setiap anak juga mempunyai hak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak). Mengenai hal ini ada pengecualian yaitu jika ada alasan bahwa orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak atau anak dalam keadaan terlantar, anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau atau anak angkat oleh orang lain (Pasal 7 ayat (2) UU Perlindungan Anak). Hal serupa juga dikatakan dalam Pasal 14 UU Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Sehingga berdasarkan hal-hal di atas, Anda mempunyai hak untuk mengasuh anak Anda dan anak Anda juga mempunyai hak untuk diasuh oleh Anda sebagai orang tuanya. Kecuali mertua Anda dapat membuktikan bahwa memisahkan Anda dengan anak Anda adalah hal yang terbaik bagi perkembangan anak Anda. Mengenai melakukan penuntutan terhadap mertua Anda berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), sebelumnya kami akan menjabarkan terlebih dahulu isi pasal tersebut: (1) Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan mengenai pasal ini, bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang dengan sengaja mencabut (melarikan) orang yang belum dewasa dari kekuasaan orang yang berhak. Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku yang mencabut (melarikan) itu, bukan anaknya sendiri (dengan kemauan sendiri) yang melepaskan (lari) dari orang tuanya. Karena menurut arrest Hoge Raad 2 November 1903, jika anak yang belum dewasa dengan kemauannya sendiri melepaskan dirinya dari kekuasaan wali dan sebagainya, dan lalu lari dan pergi meminta perlindungan kepada seseorang alin dan orang itu menolak untuk menyerahkan kembali anak itu kepada walinya dan sebagainya, maka penolakan dari perlindungannya yang terakhir ini tidak dapat dinamakan perbuatan “mencabut anak belum dewasa dari kekuasaan wali dan sebagainya”. Terkait batasan usia dewasa dalam Pasal 330 KUHP, S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya merujuk kepada UU Perkawinan yang menentukan: “Perkawinan hanya diijinkan jika ………………. pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” S.R. Sianturi berpendapat bahwa yang belum dewasa adalah di bawah umur 16 tahun. Mengenai batasan usia dewasa dalam konteks ini, kami cenderung merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. Jadi selama Anda dapat membuktikan bahwa mertua Anda membawa anak Anda bukan dengan kemauan anak Anda, Anda dapat menuntutnya dengan Pasal 330 KUHP. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jadi, sebaiknya Anda membicarakan baik-baik mengenai hal ini dengan suami Anda serta mertua Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pertanyaan: Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama Mohon penjelasannya untuk kasus saya. Kami menikah beda agama melalui catatan sipil, mempunyai dua anak cewek ( 2 tahun dan 6 bulan ). Yang 2 tahun ikut agama suami, dan 6 bulan ikut agama istri karena ada persoalan yang mendasar yang tidak bisa dicarikan solusinya lagi. Jika terjadi perceraian, bagaimana dengan hak asuhnya? Apakah anak bisa dibagi..yang 2 tahun tetap sama suami, dan 6 bulan tetap sama istri, namun untuk biaya anak 6 bulan tetap menjadi tanggungan suami? Mohon penjelasan, terima kasih sebelumnya semokces • • Jawaban: Letezia Tobing, S.H. Anda tidak menyebutkan secara lengkap apa agama dari Anda dan pasangan Anda. Kami akan menjelaskan dalam hal misalnya Anda dan pasangan Anda beragama Islam dan non-Islam. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perceraian tidak menghapus kewajiban ayah dan ibu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dalam pasal terebut juga dikatakan bahwa jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan yang akan memberi keputusan. Ini berarti mengenai hak asuh anak, jika tidak ditemui kata sepakat antara suami dan istri, maka diselesaikan melalui jalur pengadilan. Tetapi sebagai gambaran mengenai pembagian hak asuh, jika melihat dari Hukum Islam, kita dapat merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pada Pasal 105 KHI, dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Mengenai ketentuan Pasal 105 KHI ini terdapat pengecualian, yaitu apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.: 210/K/AG/1996, yang mengandung abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz. Hal ini juga didukung oleh pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, Halaman 94, sebagai berikut : “Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadhanah ada tujuh macam : berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, tinggal di daerah tertentu, dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut, gugur hak hadlonah dari tangan ibu” “hadhanah” adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya agar terjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Ini berarti anak harus diasuh sesuai dengan agama yang dianutnya agar perkembangan mental dan spiritualnya baik. Akan tetapi, selain melihat agama dari orang tua yang akan mendapatkan hak asuh si anak, tentu saja harus dilihat juga perilaku dari si orang tua. Kesamaan agama tidak menjadi satu-satunya faktor untuk menentukan hal yang terbaik bagi si anak (dalam pengasuhan ayah atau ibunya). Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Maumere No.: 1/Pdt.G/2013/PA.MUR. Pada awalnya Pemohon (suami) dan Termohon (istri) beragama Islam dan menikah secara Islam serta telah terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka. Kemudian Termohon berpindah agama, dan hal tersebut menjadi salah satu alasan percekcokan mereka yang berujung pada perceraian. Dalam perceraian tersebut Pemohon meminta agar hak asuh diberikan kepada Pemohon karena anak-anak Pemohon dan Termohon beragama Islam, dengan alasan yang merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.: 210/K/AG/1996 dan pendapat Ulama dalam Kitab Kifayatul Ahyar, Juz II, Halaman 94, di atas. Akan tetapi pengadilan memutuskan hak asuh jatuh pada Termohon (istri) dikarenakan Pemohon (suami) pernah terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Maumere dalam perkara penelantaran anak. Dalam hal ini berarti baik Pemohon dan Termohon memiliki kecacatan untuk mendapatkan hak asuh anak. Akan tetapi, majelis hakim menimbang bahwa mudharat yang paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan ibunya, karena ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan terlalaikan. Selain itu, Anda juga dapat melihat Putusan Mahkamah AgungNo.: 376 PK/Pdt/2011. Penggugat dan Tergugat pada awalnya menikah secara Gereja dan tercatat pada Kantor Catatan Sipil Jakarta. Kemudian Tergugat pindah agama, begitu juga dengan anak dari Penggugat dan Tergugat, menjadi beragama Islam. Dalam putusannya, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, memberikan hak asuh kepada Penggugat (istri) dikarenakan si anak (berumur 12 tahun) memilih untuk ikut dengan ibunya. Jadi, mengenai hak asuh pada dasarnya harus mempertimbangkan juga perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi si anak. Mengenai biaya untuk anak, berdasarkan Pasal 41 huruf b UU Perkawinan, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu.Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 3. Kompilasi Hukum Islam. Referensi: 1. Putusan Pengadilan Agama Maumere No.: 1/Pdt.G/2013/PA.MUR; 2. Putusan Mahkamah Agung No.: 376 PK/Pdt/2011. Pertanyaan: Masalah Hak Asuh Anak Tiri Saya ingin bertanya. Ada wanita menikah dengan duda 1 anak yang masih di bawah umur, lalu suaminya meninggal. Apakah istri bisa memiliki hak asuh anak tirinya? Dan jika alm. suami memiliki saudara yang menginginkan mengasuh anak ini, apakah ada kesempatan menang jika ini dibawa ke jalur hukum? sydel1 • • Jawaban: Liza Elfitri, S.H., M.H. Rekan Penanya yang terhormat, Definisi dari anak tiri adalah anak bawaan suami atau istri yang bukan hasil perkawinan dengan istri atau suami yang sekarang. Anak tiri hanya memiliki hubungan kewarisan dan keperdataan dengan orang tua sedarahnya. Hal ini secara implisit diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertanyaan Anda akan kami jawab terlebih dahulu berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Mengenai pemeliharaan (pengasuhan) anak, Pasal 105 KHI menyatakan batasan usia anak yang belum mumayyiz (masih di bawah umur) adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Apabila terjadi perceraian, maka hak asuh anak yang belum mumayyiz ada pada ibunya, sedangkan bila anak sudah mumayyiz dia dapat memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Dengan kata lain, yang paling berhak mengasuh (memelihara) anak adalah ayah atau ibu kandung si anak. Secara syariah, anak dari suami menjadi mahram bagi istri. Ikatan mahram ini karena adanya pernikahan ayahnya dengan seorang wanita yang bukan ibunya. Sayangnya, dalam pertanyaan Anda tidak terdapat keterangan karena alasan apa hak asuh anak berada di tangan si suami, apakah karena putusan pengadilan agama ataukah cerai mati? Apabila karena putusan pengadilan agama akan menjadi dasar yang cukup bagi si istri untuk memintakan penetapan hak asuh atas anak tersebut ke pengadilan agama. Pasal 156 KHI mencantumkan tingkatan derajat yang dapat menggantikan kedudukan hadhanah dari ibu karena meninggal dunia: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Kami menyarankan juga kepada si istri untuk terlebih dahulu mencari keluarga dari ibu kandung si anak guna membicarakan pengasuhan si anak dengan pertimbangan kemaslahatan si anak. Menghadapi adanya keinginan dari saudara alm. suami yang menginginkan hak asuh terhadap anak ini, si istri dapat meminta penetapan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya untuk hak asuh terhadap anak tirinya. Saudara alm. si suami terhalang mendapatkan hak asuh terhadap anak ini bila masih ada wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu dan si istri (ibu tiri) sendiri karena sebab pernikahan dengan ayahnya si anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) juga mengatur tentang perwalian anak pada Pasal 229 jo. Pasal 230b KUHPerdata, yakni ke Pengadilan Negerilah diajukan permohonan penetapan tentang perwalian anak, bila si istri tidak beragama Islam. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa salah satu prinsip perlindungan anak adalah ‘the best interest of the child’ alias ‘kepentingan terbaik bagi anak.’ Mendengarkan keinginan dan pendapat anak adalah salah satu perwujudan prinsip perlindungan anak. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Pertanyaan: Apakah Orangtua Bisa Memutuskan Hubungan Hukum dengan Anak? Ada anak umur 20 tahun, sudah keluar dari rumah 5 tahun lalu, dan KK atas nama anak tersebut sudah dicabut. Setiap tahun selalu ada kasus yang sama datang ke rumah minta pertanggungjawaban atas kelakuan yang dilakukan si anak (menggelapkan kereta orang lain (mencuri serta melarikan diri atas perbuatan tersebut). Dan selalu datang ke rumah meminta duit untuk pertanggungjawaban yang dilakukan. Dia juga membuat keributan dalam rumah hingga ibunya stres dan sakit-sakitan. Sebagai orang tua apa yang harus dilakukan terhadap anak tersebut? Apa bisa putus hubungan menurut hukum? Dan bagaimana membuat agar anak tidak mencari orang tua untuk mempertanggungjawabkan dilakukannya di luar sana? Karena si anak mengatakan orang tua bertanggung jawab sampai dia menikah baru lepas tanggung jawab. Mohon bantuan atas masalah ini, thanks. larismanis • • Jawaban: Letezia Tobing, S.H. Pada dasarnya, menurut Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Mengenai kewajiban orang tua ini atau yang sering disebut dengan “kekuasaan orang tua”, Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 50-51) mengatakan bahwa kekuasaan orang tua mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Hal ini juga dikatakan oleh Pasal 47 UU Perkawinan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Berdasarkan uraian di atas, dari umur anak tersebut, yang telah berusia 20 (dua puluh) tahun, dapat kita simpulkan bahwa orang tersebut bukan lagi dianggap sebagai anak, tetapi dianggap dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya lagi. Karena orang tersebut telah dewasa, maka segala yang dia lakukan yang berhubungan dengan hukum, menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dari segi hukum perdata, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1367 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”): “Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.” Ini berarti bahwa orang tua hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak yang belum dewasa. Yang berarti bahwa saat seseorang dewasa, apa yang ia perbuat merupakan tanggung jawabnya sendiri. Dari segi hukum pidana, orang yang sudah dewasa tentu saja bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Bahkan untuk anak yang sudah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, mereka juga dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dilakukannya. Lebih lanjut Anda dapat membaca dalam artikel yang berjudul Jerat Hukum Bagi Pelajar yang Menggunakan Ganja dan Penerapan Pidana Penjara Bagi Anak. Jadi, pada dasarnya seseorang yang berusia 20 (dua puluh) tahun bertanggung jawab sendiri atas perbuatan yang ia lakukan. Sedangkan, mengenai pemutusan hubungan hukum dengan anak, setahu kami, pada dasarnya tidak ada ketentuan hukum mengenai pemutusan hubungan hukum dengan anak. Ini karena pada dasarnya hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena, misalnya perjanjian. Akan tetapi, pada praktiknya pernah ada kasus mengenai orang tua yang memutuskan hubungan dengan anaknya. Seperti berita tentang Astrid Ellena yang kami sarikan dari artikel detik.com yang berjudul Tinggalkan Rumah, Miss Indonesia 2011 Tak Lagi Diakui sebagai Anak? Astrid Ellena memiliki masalah dengan ayahnya hingga pada akhirnya, tanggal 19 Januari 2012, sang ayah mengambil tindakan tegas dengan cara memutuskan hubungan keluarga dengan Astrid Ellena. Pernyataan ini disampaikan dalam surat kabar Jawa Pos. Kolom surat kabar tersebut berbunyi: “Pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 2011, ASTRID ELLENA INDRIANA YUNADI (Ellen), lahir di Jakarta, 8 Juni 1990, telah keluar dan meninggalkan rumah tanpa seizin saya selaku Ayahnya, maka terhitung mulai tanggal 13 Agustus 2011 Astrid Ellena Indriana Yunadi TIDAK LAGI DIAKUI SEBAGAI ANAK, dan segala perilaku, perbuatan serta akibatnya sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi Astrid Ellena Indriana Yunadi, bukan tanggung jawab saya selaku ayahnya dan tidak bisa dikaitkan dengan keluarga besar Yunadi." Mengenai permasalahan yang Anda sampaikan, kami menyarankan agar sang orang tua membicarakan masalah ini secara baik-baik kepada anak tersebut. Dan jika anak tersebut melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku, orang tua tersebut dapat melaporkan hal tersebut kepada polisi agar anak tersebut jera. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Referensi: Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Pertanyaan: Batasan Antara Nafkah dan Uang Jajan 1. Apakah definisi nafkah menurut hukum? 2. Apakah pemberian bapak (berupa uang yang tidak seberapa atau barang) kepada anak yang sekali-sekali bisa disebut nafkah? 3. Apakah hukumnya bapak yang tidak memberi nafkah kepada anak kandungnya? bonita hirza • • Jawaban: Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. Terima kasih atas pertanyaan Anda. 1. Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur secara eksplisit pengertian nafkah. Namun, yang memiliki maksud sama dengan nafkah itu sendiri secara implisit disebut dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang berbunyi: “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” Selain merujuk pada UU Perkawinan, kewajiban suami/bapak dalam rumah tangga juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukumyang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Anak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya, dalam hal ini adalah bapak. Oleh karena, itu, secara undang-undang, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah bagi anak. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah, bagi yang beragama Islam, pengaturan nafkah terdapat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak. Merujuk pada sebuah tulisan yang berjudul Implikasi Nafkah Dalam Konstruksi Hukum Keluarga yang dibuat oleh Erfani, S.HI. dalam laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Erfani mengatakan bahwa dalam terminologi fikih, fuqaha` memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot kerumahtanggaan. 2. Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai apakah pemberian bapak kepada anak (berupa uang yg tidak seberapa atau barang) kepada anak yang sekali-sekali bisa disebut nafkah, Erfani mengatakan: “… maka hukum keluarga melahirkan konsekuensi berupa terciptanya hak dan kewajiban yang saling timbal-balik di antara person-person dalam keluarga. Di antara hak dan kewajiban itu, adalah ketika jalinan keluarga membutuhkan penghidupan guna menopang jalannya rumah tangga. Dalam situasi ini, maka adalah kemutlakan jika harus ada yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu, mulai sandang, pangan dan papan. Semua hal itu, oleh agama secara umum disebut sebagai nafkah.” Dari penjelasan apa yang dimaksud dengan nafkah peraturan-peraturan yang telah kami sebutkan di atas dan penjelasan menurut Erfani, dapat diketahui bahwa nafkah tidak hanya berupa uang (seperti biaya rumah tangga dan biaya pendidikan bagi anak), tetapi dapat pula berupa barang. Memang, jika hanya merujuk secara baku apa yang disebut dalam peraturan perundang-undangan terntang nafkah, sepanjang uang atau barang tersebut diberikan oleh bapak kepada anak yang menjadi tanggungannya dalam lingkup rumah tangganya, maka hal tersebut dikatakan sebagai nafkah. Namun, ada hal yang kami fokuskan di sini terkait kondisi bapak dalam cerita Anda yang memberikan uang yang tidak seberapa dan barang hanya sesekali. Melihat konteks nafkah menurut peraturan perundang-undangan terkait dan KHI yang kami sebutkan di atas, terdapat kata-kata “sesuai dengan penghasilannya, bapak/suami menanggung nafkah”. Apabila seorang bapak dalam lingkup rumah tangga itu memiliki penghasilan yang rutin didapatnya karena ia bekerja, maka seharusnya uang/barang yang ia berikan kepada anaknya itu juga harus diberikan secara rutin. Hal yang menjadi fokus dari baik peraturan perundang-undangan terkait maupun KHI adalah sesuai dengan penghasilannya. Apabila uang/barang tersebut tidak diberikan secara rutin sementara penghasilan bapak diterimanya secara rutin, maka menurut hemat kami hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai nafkah. Seorang bapak memang seharusnya menanggung nafkah sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi pemberian tersebut juga seharusnya disesuaikan dengan kontinuitas dari penghasilan yang didapatnya. Untuk lebih jelasnya kita dapat merujuk pada Putusan Pengadilan Agama Kota Baru. Dalam putusan tersebut diceritakan bahwa Tergugat selaku mantan suami Penggugat (keduanya telah bercerai) hanya sesekali memberi uang untuk anak-anak secara langsung yang menurut pengakuan anak-anak kepada Penggugat uang yang diberikan Penggugat hanya sekedar untuk membeli jajan saja, yaitu berkisar Rp 1.000 (seribu rupiah) s.d Rp 2.000 (dua ribu rupiah). Dalam putusan tersebut diceritakan juga bahwa Tergugat menyatakan masih tetap memberikan nafkah untuk ketiga anaknya namun menurut Penggugat yang juga tidak dibantah oleh Tergugat hal tersebut bukanlah merupakan nafkah namun hanya sekedar uang jajan sebab pemberian Tergugat kepada anak-anaknya jika hanya bertemu saja. Yang menjadi tuntutan Penggugat kepada Tergugat adalah nafkah untuk ketiga anaknya pasca-terjadinya perceraian yang setiap bulannya Penggugat meminta kepada Tergugat Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) perbulan sampai dewasa atau mandiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim akhirnya memutuskan menghukum Tergugat untuk membayar nafkah ketiga anak minimal Rp 450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan sampai ketiga anak tersebut dewasa atau mandiri. 3. Bagaimana jika bapak tidak menunaikan kewajibannya dalam menafkahi anak kandungnya? Untuk menjawab ini dan masih berkaitan dengan kewajiban bapak dalam lingkup rumah tangga, kita berpedoman pada Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT yang berbunyi: “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukumyang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.“ Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa bapak dalam pertanyaan Anda dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, yakni termasuk anak. Sanksi bagi bapak yang tidak menafkahi anaknya tersebut berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT adalahpidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Referensi: http://badilag.net/data/ARTIKEL/NAFKAH%20DAN%20IMPLIKASINYA%20DALAM%20HUKUM%20KELUARGA.pdf, diakses pada 22 Juli 2013 pukul 11.12 WIB Putusan: http://www.pa-kotobaru.net/index.php?option=com_putusan&act=download&Itemid=32&id=1787&file=putusan-0153-Pdt.G-2013-PA.Kbr.pdf, diakses pada 20 Agustus 2013 pukul 16.11 WIB Pertanyaan: Legalitas Anak Perempuan Sebagai Jaminan Utang Salam jumpa. Saya ingin menanyakan perihal mengenai anak perempuan sebagai agunan utang (parumaen di losung) pada masyarakat Batak Toba dikaji berdasarkan hukum positif Indonesia. Apakah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan anak tersebut? Terima kasih sebelumnya. theodore manurung • • Jawaban: Muhammad Yasin, S.H., M.H. Terima kasih atas pertanyaan Anda yang menarik. Parumaen di losung adalah istilah yang dikenal dalam masyarakat Batak Toba, yang secara harfiah berarti menantu di lesung. Istilah ini adalah kiasan kepada seorang anak perempuan yang dijadikan jaminan utang. Anak perempuan itu diserahkan keluarganya kepada keluarga lain (kreditur) untuk kemudian dipertunangkan. Anak gadis itu bekerja di rumah keluarga yang mempunyai piutang, sehingga anak itu sering juga disebut boru mangadop. Dengan kata lain, jika orang tua si anak mempunyai utang kepada seseorang dan belum mampu melunasinya, maka sebagai agunan utang, dia menyerahkan anak perempuannya untuk dipertunangkan dengan anak si pemberi utang. Praktik ini dikritik antara lain oleh J.C. Vergouwen (1986: 241-242) sebagai kontrak yang keberadaannya ‘sungguh ironis bagi seorang gadis’. Vergouwen menulis, walaupun anak perempuan seperti itu tetap disebut parumaen (anak menantu perempuan), namun kualifikasi itu, yang diembel-embeli kata losung (lesung) memperlihatkan dengan jelas bahwa kreditur berniat mengambil manfaat dari tenaga anak gadis itu. Parumaen di losung merupakan salah satu model pertunangan yang diikuti dengan utang piutang. Vergouwen menyebut lagi istilah boru sihunti utang. Pada hakikatnya, pada kedua model itu anak perempuan dijadikan jaminan pembayaran utang kepada keluarga kreditur (biasanya keluarga dekat). Sayangnya, kami tidak menemukan hukum positif yang secara khusus mengatur masalah ini. Dalam praktiknya, posisi perempuan dalam budaya Batak Toba sudah mengalami perkembangan ke arah yang lebih positif (Sulistyowati Irianto, 2003). Tetapi, khusus masalah anak dijadikan sebagai jaminan utang mungkin dapat dilihat dari (i) hukum jaminan utang, dan (ii) hukum perlindungan anak. Dari perspektif pertama, Anda kami sarankan membaca artikel klinik tentang jaminan utang. Dalam hukum dikenal istilah uang muka atau borgtocht sebagai jaminan perseorangan. Perjanjian penanggungan utang semacam ini diatur dalam Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Konsep penanggungan utang dalam konteks ini adalah suatu perjanjian yang mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, jika debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sifat perjanjian penanggungan utang adalah accessoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dan kreditur (H. Salim HS, 2007: 219). Dalam perspektif ini, menurut kami, jelas penyerahan anak perempuan tak memenuhi syarat sebagai jaminan utang. Putusan Mahkamah Agung No. 396K/Sip/1958 tanggal 11 Februari 1959 juga menegaskan uang yang diberikan oleh penggugat asli kepada tergugat asli tidak dapat disamakan sebagai uang muka yang akan dikembalikan kepada penggugat asli apabila perkawinan anak-anak dari kedua belah pihak tidak jadi dilangsungkan. Namun, uang tersebut dapat dipandang sebagai uang pengikat. Apabila putusnya pertunangan disebabkan pihak perempuan, maka uang harus dikembalikan dua kali lipat. Jika sebaliknya maka uang tersebut dianggap hilang. Lebih lanjut, dalam putusan Mahkamah Agung No. 46/K/Sip/1952 dinyatakan apabila pertunangan diputuskan oleh pihak perempuan maka pihak perempuan harus memberikan pihak pria ulos, bukan uang tunai sebagai penggantinya. Dari perspektif kedua, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Pasal 13 UU Perlindungan Anak menyatakan setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Kalaupun ada upaya pemisahan anak dari orang tuanya (dalam kasus ini diserahkan kepada keluarga calon mertuanya), UU Perlindungan Anak tetap menegaskan bahwa pertimbangan utama adalah kepentingan terbaik si anak. Jika dilihat dari konstruksi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), hanya anak perempuan yang sudah berusia 16 tahun yang diperbolehkan menikah. Pengecualian hanya bisa lewat dispensasi pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk. Pasal 48 UU Perkawinan tidak menyebutkan larangan menggadaikan anak. Namun, orang tua dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum menikah kecuali kepentingan si anak menghendaki. Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat. Kami sarankan Anda untuk bertanya masalah ini ke tokoh-tokoh hukum adat Batak agar mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Putusan: 1. Putusan Mahkamah Agung No. 46/K/Sip/1952 2. Putusan Mahkamah Agung No. 396K/Sip/1958 Referensi: 1. H. Hilman Hadikusuma. Hukum Adat dalam Yurisprudensi: Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. 2. H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. 3. J.C. Vergouwen. Masyarakat dan Hukum Adat Toba. Yogyakarta: LKiS, 1986. 4. Sulistyowati Irianto. Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Warisan Melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obopr Indonesia, 2003. Komitmen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Rakorda di Sumatera Barat Featured Bukittinggi (7/5)- Menteri PP-PA, Linda Amalia Sari Gumelar hadir dan memberikan sambutan tentang kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak pada acara Rapat Koordinasi Daerah Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat tahun 2012 di Istana Bung Hatta, Bukittinggi. Acara yang diselenggarakan satu hari itu, merupakan wujud kepedulian Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terhadap Perempuan dan Anak. Hingga saat ini, kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi, masih adanya kesenjangan partispasi pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan publik yang lebih luas, merupakan sebagian dari permasalahan yang perlu diselesaikan. Selain itu, masih adanya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, menjadi tantangan sendiri yang harus diatasi. Terkait dengan anak, tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh tumbuh dan berkembangnya anak, bagaimana mereka disiapkan, dibentuk, dilindungi, dan dijamin pemenuhan hak-haknya. Dengan demikian, penyiapan anak untuk menjadi manusia masa depan yang diharapkan, adalah kunci utama yang harus mendapatkan perhatian serius. Hal ini tentunya harus didukung dengan payung hukum dimana semua acuan hukum yang ada merupakan bentuk komitmen untuk pembangunan anak, memusatkan perhatian pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak, seperti UU No. 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan bahwa penjaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Keadaan tersebut secara tidak langsung berdampak pada rendahnya kualitas hidup perempuan dan anak dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan pengambilan keputusan. Hal inilah mengapa Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, mengambil tema "Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak Melalui Pembangunan Hukum Yang Berkeadilan". "Sesungguhnya masih banyak yang belum memahami apa itu kesetaraan gender, kesetaraan gender itu berbeda dengan jenis kelamin melainkan bagaimana perempuan dan laki-laki didalam pembangunan mendapatkan hak-hak yang sama dalam berpartisipasi, mendapatkan akses dan dapat menikmati hasil-hasil pembangunann tersebut. Sehingga KPP-PA didorong untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan mengadvokasi K/L dalam mengeluarkan kebijakan yang tidak bias gender", kata Linda Gumelar usai menghadiri Rakorda Sumatera Barat. Permasalahan perempuan dan anak sangat kompleks dan bersifat lintas bidang, dan karenanya penanganan permasalahan tersebut tidak dapat dilakukan oleh Kementerian PP dan PA semata. Oleh karenanya, dibutuhkan dukungan dan kerja kolaboratif antar seluruh pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah, agar kondisi tersebut dapat ditangani secara baik dan menyeluruh. Untuk itulah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membuat Kesepakatan Bersama dengan seluruh Pemerintah Kota/Kabupaten di Sumatera Barat sebagai wujud komitmen mereka. Disela acara Rakoda ini, Pemerintah Provinsi melakukan penandatangan kesepakatan bersama dengan Pemerintah Kota/Kabupaten di Sumatera Barat tentang peningkatan penguatan kelembagaan terkait kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Wujud komitmen ini diketahui dan disaksikan oleh Menteri PP-PA, Linda Amalia Sari Gumelar dan di hadapan Wakil Gubernur Sumatera Barat, Muslim Kasim. Sejumlah Walikota/Bupati yang ikut menandatangani komitmen ini diantaranya adalah Walikota Padang, Walikota Solok, Walikota Pariaman, Walikota Padang Panjang, Walikota Bukittinggi, Walikota Payakumbuh, Walikota Sawahlunto, Bupati Pesisir Selatan, Bupati Padang Pariaman, Bupati Tanah Datar, Bupati Lima Puluh Kota, Bupati Agam, Bupati Pasaman, Bupati Solok, Bupati Sijunjung, Bupati Solok Selatan, Bupati Dharmasraya, Bupati Pasaman Barat dan Bupati Kepulauan Mentawai. "Saya berharap dengan kesepakatan bersama ini akan memberikan hasil yang nyata melalui peraturan-peraturan daerah yang mampu memberikan kenyamanan terhadap perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. Untuk itu kami akan mengadvokasi, memonitoring dan mengevaluasi perjalanannya nanti. Sesungguhnya posisi Sumatera Barat cukup kuat karena indeks IPG Sumatera Barat berada pada posisi ke-5 dr seluruh propinsi, namun dengan kesepakatan bersama ini dapat meningkatkan kembali posisi IPG. Kementerian PP dan PA siap memfasilitasi dan mengkordinasikan kebijakan-kebijakan yang responsif gender dengan K/L di pusat maupun di daerah. Sehingga program-program K/L dapat memikirkan kepentingan secara jelas antara perempuan dan laki-laki", jawab Linda Gumelar saat ditanya tentang target dari kesepakatan bersama ini.(HM)